Selasa, 08 Januari 2013

Rumah Impian Rumah Mandiri

Sore itu awan mendung terlihat berkumpul. Matahari tidak menampakan cahayanya. Hembusan angin semakin kencang. “Ibu, sepertinya hari akan hujan!” sahutku kepada istriku. Istriku yang sedang menemani Andri anakku belajar, kemudian beranjak berdiri dan menghampiriku yang sedang berdiri di depan pintu. “Betul pak!. Sepertinya akan hujan deras. Biar ibu siapkan ember dulu!” jawab istriku sambil berlalu keluar menuju dapur. Hujan memang menjadi musuh kami. Jika hujan turun, maka rumah kami sudah pasti akan bocor. Hal ini telah berlangsung selama tiga bulan terakhir. Berkali-kali kami adukan kepada pemilik rumah. Tapi hanya janji-janji saja yang kami terima. Tujuh belas tahun kami mengontrak rumah. Bukannya kami tidak ingin mempunyai rumah sendiri. Penghasilan kami sebagai guru PNS, tidak mencukupi untuk membeli rumah yang layak. Penghasilan kami berdua habis oleh kebutuhan sehari-hari dan untuk bayar kontrakan rumah. Sedangkan untuk membeli rumah diperlukan biaya yang cukup besar. Belum lagi tahun depan anakku akan masuk ke SMP, tentu saja dibutuhkan biaya yang besar pula. Tidak lama kemudian, istriku datang sambil membawa sebuah ember besar dan meletakkannya di dekat tempat yang bocor. Betul saja perkiraan kami, tidak lama kemudian hujan datang dengan derasnya. Setiap lima belas menit sekali aku harus mengganti ember yang penuh dengan air dengan ember yang kosong. Aku lalu membuang air dalam ember keluar rumah. Tapi untunglah hujan tidak berlangsung lama. Kulihat waktu telah menunjukan pukul delapan malam. Anakku terbaring di lantai dengan mengunakan kasur busa yang telah lepek. Sepertinya dia kelelahan belajar menghadapi ujian nanti. Disampingnya motor kesayanganku aku parkirkan. Ya, anakku tidur di samping motor yang aku parkirkan dalam rumah. Rumah kontrakanku jauh dari layak. Hanya terdiri dari satu kamar berukuran 4 x 4 meter, jelas tidak memadai. Belum lagi, jika malam tiba aku harus memarkirkan motorku di dalam rumah. Sedangkan untuk dapur dan kamar mandi, kami menggunakannya secara bersama-sama penghuni yang lain. Sebenarnya, aku sudah punya niat untuk memiliki rumah sendiri. Tapi harga yang ditawarkan jauh di atas kemampuanku sebagai guru PNS. Keesokan harinya seperti biasa, aku pergi mengajar di sekolah. Sedangkan istriku mendapat giliran mengajar di siang hari, begitu pula dengan anakku yang mendapat giliran sekolah di siang hari. Dengan mengendarai sepeda motorku, aku berangkat ke sekolah. Selesai mengajar aku tidak langsung pulang, sebab banyak tugas sekolah yang harus aku kerjakan terlebih dahulu. Tiba-tiba terdengar dari arah belakang. “Man…sedang apa kau?” tanya temanku Viktor seorang guru matematika yang berasal dari Medan. “Ah, kamu aku kira siapa. Biasa aku sedang mengerjakan silabus untuk keperluan sekolah,”. “Lho, bukankah kamu sudah buat itu dua minggu yang lalu?” tanya Viktor keheranan. “Betul, tapi rumahku kehujanan dan bocor, sampai silabus yang telah aku buat rusak terkena air hujan,” jelasku dengan nada sedih. “Maman…Maman…sampai kapan kamu akan bertahan di kontrakanmu yang hancur itu, Man?” tanya Viktor kembali. “Sebenarnya aku sudah tidak betah tinggal disana, Tor,” jelasku. “Lha, lantas apa yang menghalangimu?” tanya Viktor penasaran. “Aku sudah, mencari rumah untuk aku tinggali. Ternyata harganya selangit,” jelasku. “Maman…Maman..kamu lihat aku. Aku juga sama guru PNS sepertimu. Mana mungkin aku bisa beli rumah. Tapi aku pakai fasilitas KPR dari Bank Mandiri,” jelas Viktor. “KPR, apa itu?” tanyaku penasaran. “KPR itu singkatan dari Kredit Perumahan Rakyat. Jadi dengan fasilitas KPR, kamu tinggal bayar cicilan saja tiap bulan ke Bank Mandiri,” jelas Viktor. “Berapa lama aku harus mencicilnya?” tanyaku lagi semakin penasaran. “Itu tergantung kamu, bisa 10 tahun atau 15 tahun,” jelas Viktor kembali. “Jadi dengan membayar cicilan selama 10 atau 15 tahun aku bisa punya rumah?” tanyaku meyakinkan.”Betul sekali, kawan!” jawab Viktor dengan pasti. “Dimana, aku bisa mendapatkan KPR Mandiri?” tanyaku tidak sabar. “Kamu tinggal datang saja ke Bank Mandiri atau di http://www.bankmandiri.co.id/ atau lihat videonya di http://youtu.be/y5UicfHy3g0,” jelas Viktor menjelaskan. Sepulang dari sekolah aku menuju Bank Mandiri sesuai yang dianjurkan oleh Viktor. Aku penasaran ingin mengetahui lebih lanjut mengenai fasilitas KPR Mandiri. Setiba di Bank Mandiri, aku disambut dengan senyuman hangat petugas keamanan. “Siang, pak! Ada yang bisa saya bantu ?” jawab petugas tersebut. “Oh, anu.. Saya mau mencari informasi mengenai fasiltas perumahan,” jelasku. “Oh, fasilitas KPR Mandiri?” jelas petugaas tersebut. “Iya betul !” jawabku. “Silakan bapak ambil nomor antrian bapak. Nanti pada gilirannya nomor bapak akan dipanggil! customer service kami akan membantu bapak!” jelas petugas tersebut. Aku lalu mengambil secarik kertas yang bertuliskan sebuah nomor dan duduk di ruang tunggu. Tidak lama aku menunggu, nomorku dipanggil. Aku lalu bergegas menemui cutomer service yang dimaksud. “Siang, pak. Silakan duduk, ada yang bisa saya bantu?” tanya customer service tersebut ramah. “Anu, saya ingin menanyakan informasi mengenai fasilitas KPR Mandiri?” jawabku. Petugas tersebut lalu mengambil sebuah brosur. Dan menjelaskannya secara detail kepadaku. Setelah mendapatkan penjelasan dari petugas tersebut, akhirnya aku paham mengenai fasilitas KPR Mandiri. Akhirnya impianku untuk mempunyai rumah akan segera terwujud. Setelah dari Bank Mandiri. Aku lalu bergegas untuk menjemput istri dan anakku yang telah selesai di sekolah. Waktu menunjukan pukul lima sore. Kulihat awan mendung sudah berkumpul kembali. Pasti tidak lama lagi akan turun hujan deras. Akhirnya kupacu sepeda motroku lebih cepat kembali. Sesampainya di sekolah, istriku yang kebetulan satu gedung dengan sekolah anakku. Tidak lama menunggu mereka berdua sudah terlihat keluar dari gedung sekolah. “Ayo, bu. Kita harus cepat, hujan sebentar lagi akan turun!” jelasku. Akhirnya kami bergegas untuk pulang. Ditengah perjalanan pulang kami kehujanan. Terpaksa kami mencari tempat untuk berteduh. Lalu kutanya istriku, “Bu sudah kamu pasang ember untuk menahan bocor?” tanyaku. “Belum, ayah. Aku tadi tidak sempat,” jawab istriku. “Aduh, gawat kita harus cepat pulang kalau begitu,” jelasku khawatir. Akhirnya kami bertiga melanjutkan perjalanan di tengah derasnya hujan. Dengan tubuh basah kuyup terkena hujan akhirnya kami tiba di rumah kontrakan kami. Dan ternyata rumah kontrakan kami telah kebanjiran. Begitu kami buka pintu masuk kami lihat, kasur tempat anakku tidur sudah mengambang di atas air, buku-buku pelajaranku tergenang oleh air hujan. Tidak ada barang luput dari air hujan. Hanya dokumen penting saja yang selamat karena aku simpan di lemari bagian paling atas. Setelah hujan reda aku dan istriku mulai membereskan rumah kontrakan kami yang tergenang air. Buku-buku yang masih bisa diselamatkan aku keringkan diatas lemari. Sedangkan yang rusaknya terlalu parah aku buang ke tempat sampah. Akhirnya pekerjaan kami membereskan rumah selesai tengah malam. Kulihat anakku sudah tertidur terlelap diatas kasur tempat biasa istriku tertidur. Sedangkan aku dan istriku duduk kelelahan. “Bu, tadi siang aku pergi ke Bank Mandiri. Menanyakan fasilitas KPR,” jelasku. “KPR apa itu, pak?” tanya istriku. “KPR adalah singkatan dari kredit perumahan rakyat. Jadi kita bisa memiliki rumah dengan mencicil ke Bank,” jelasku lebih lanjut. “Oh, jadi seperti ibu mencicil panci ke Mang Amung,” jelas istriku. “Iya, kurang lebih seperti itu! Tapi dalam jangka waktu 10 atau 15 tahun.” Jelasku kembali. “Wah, lama sekali pak!” tanya istriku. “Memang, tapi itu tidak akan terasa. Aku sudah bosan hidup mengontrak seperti ini! Biarlah hitung-hitung kita mengontrak selama 15 tahun,” jelasku kembali. “Besok kita datangi perumahan yang ada di koran ini,” jelasku sambil menunjukan iklan perumahan di koran yang baru aku beli tadi siang. Keesokan harinya, kebetulan hari Minggu aku, istri dan anakku pergi menuju perumahan yang ada di koran. Satu jam perjalanan, akhirnya aku sampai juga di perumahan seperti yang ada di koran. Aku lihat baru sebagian rumah yang dibangun, selebihnya adalah hamparan tanah kosong. Aku lalu bertanya pada pekerja disana, letak kantor pengembang perumahan tersebut. Dan aku ditunjukan pada sebuah rumah yang terletak di dekat pintu masuk perumahan tersebut. Bergegas aku menuju ke rumah yang berfungsi sebagai kantor tersebut. Disana aku bertemu dengan bapak Wawan, sebagai bagian pemasaran perumahan tersebut. Dari beliaulah, aku menerima banyak informasi dan prosedur pengajuan KPR ke Bank Mandiri Keesokan harinya sesuai petunjuk dari bapak Wawan aku mendatangi Bank Mandiri. Di Bank Mandiri tersebut aku menerima berbagai macam penjelasan. Dan setelah itu dengan uang tabungan kami yang selama ini kami simpan. Aku gunakan sebagai uang muka untuk membeli perumahan tersebut. Ternyata prosedurnya tidaklah semudah yang aku bayangkan, sebelum rumah dibangun aku harus melalu proses wawancara dan juga akad kredit. Sampai akhirnya aku ditetapkan sebagai pemilik sah rumah tersebut. Setelah menunggu hampir satu bulan, akhirnya secara resmi aku memiliki rumah walaupun belum dibangun. Dan setelah menunggu pembangunan selesai, akhirnya aku miliki rumah dengan fasilitas KPR dari Bank Mandiri. Akan tetapi permasalah lain muncul, ternyata rumahku ini masih standar. Tanpa pengaman pagar depan dan benteng di bagian belakang. Sedangkan dana untuk membangun benteng belakang dan sebuah pagar dibutuhkan dana yang cukup besar. Aku lalu berkonsultasi lagi dengan Viktor temanku. “Tor, aku bingung nih,” jelasku. “Bingung kenapa?” tanya viktor keheranan. “Rumahku belum aku pagar dan belum aku beri benteng belakang. Sedangkan uangku sudah habis. Darimana aku dapat pinjaman uang untuk membangunnya?” jelasku. “Kamu pinjam saja ke Bank Mandiri!” jawab Viktor enteng. “Enggak ah, aku takut. Sebab tetanggaku saja yang pinjam ke Bank, begitu terlambat bayar cicilan, akan datang yang menagih dengan wajah seram bahkan sering berkata yang kotor dan kasar,” jelasku. “Itu jika kamu telat bayarnya!” jelas Viktor serius. Keesokan harinya dia mengantarku ke Bank Mandiri. Setelah memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan. Akhirnya aku bisa meminjam dana untuk perbaikan rumahku. Bahkan sisi uang tersisa, aku belikan sepeda motor untuk istriku. Sekarang rumahku sudah layak untuk dihuni. Tidak ada lagi air bocor di waktu hujan.

Bersama Bank Mandiri, Hidup Lebih Mudah!

“Yok, kamu sudah mengambil gaji kita bulan ini?” tanyaku pada Yoyok temanku seorang guru Fisika. “Maman…Maman. Kamu masih kuno saja! Aku tidak pernah mengambil lagi gaji ke dinas. Sekarang aku sudah punya tabungan, jadi tinggal transfer saja!” jawab Yoyok sambil tersenyum kepadaku. “Kenapa sih, kamu tidak buka tabungan saja?” tanya temanku itu. “Malas, ah. Kamu lihat tidak di surat kabar, banyak kasus orang yang dicuri uangnya lewat ATM!” jawabku. “Memang, banyak kasus yang dicuri uangnya lewat ATM. Tapi itu karena salah mereka sendiri yang seenaknya memberikan nomor PIN-nya pada sembarang orang,“ jelas Yoyok mencoba menerangkan. “Pokoknya, aku tidak berminat untuk membuka tabungan. Titik! Biar aku pergi ke dinas sendiri saja,“ jawabku sambil berlalu meninggalkan Yoyok yang tersenyum melihat tingkahku. Aku lalu menyalakan sepeda motorku, dan bergegas menuju ke dinas pendidikan untuk mengambil gajiku bulan ini. Sebenarnya, bukan hanya persoalan pencurian di ATM yang membuatku enggan membuka tabungan di Bank. Pada waktu aku kuliah dulu, aku pernah membuka tabungan di salah satu Bank pemerintah. Tapi yang membuatku malas, karena harus mengantri dan mengisi formulir ini itu, jika hendak menabung atau mengambil tabungan. Itulah yang menimbulkan keenggananku menabung di Bank. Aku pernah diberitahukan, jika menabung di Bank Mandiri jauh lebih nyaman dibandingkan di Bank pemerintah. Dengan fasilitas ATM Mandiri maka kita tinggal mengambil uang dimana saja ATM Mandiri itu ada. Biasanya aku dan temanku Yoyok yang mengambil gaji bulanan di dinas pendidikan. Tetapi diam-diam temanku itu sudah mempunyai nomor rekening. Jadilah aku sendirian yang mengambil gajiku di dinas pendidikan. Guru-guru lain sudah memiliki nomor rekening. Maka tinggal akulah satu-satunya guru yang belum memiliki nomor rekening. Setelah satu jam perjalanan, akhirnya tiba juga di dinas pendidikan. Aku lalu bergegas menuju ke bagian bendahara dinas. Saat itu waktu telah menunjukan pukul tiga sore. Sesampainya disana, aku lihat keadaan kantor sudah sepi. Hanya tersisa beberapa orang yang sedang berbenah dan seorang petugas yang sedang membersihkan ruangan. “Maaf pak, saya numpang tanya. Kalau ibu Euis bagian bendahara kemana ya?” tanyaku kepada petugas kebersihan tersebut. “Oh…ibu Euis, sudah pulang dari tadi siang. Anaknya sedang sakit!” jawab petugas tersebut. “Memang ada keperluan apa, Pak?” tanya petugas tersebut balik bertanya. “Eh, anu pak. Saya mau mengambil gaji saya bulan ini,” jawabku. “Lho, bukannya gaji sekarang sudah di transfer lewat Bank, pak!” tanya petugas tersebut. “Iya, sih. Tapi saya tidak punya nomor rekening, pak,” jawabku. “Wah, bapak ini. Saya juga yang hanya petugas kebersihan disini, tapi sudah punya nomor rekening. Bahkan saya sudah punya kartu ATM-nya,” ujar petugas tersebut sambil mengeluarkan dompetnya dan mengeluarkan kartu ATM Mandiri dari Bank Mandiri. Aku hanya tersenyum. “Oh, iya. Kalau begitu terima kasih. Biar besok saya kembali lagi kemari,” jelasku sambil berlalu menuju ke tempat parkir. “Sial !” pikirku. “Coba aku punya nomor rekening di Bank Mandiri, pasti hari ini aku bisa membelikan hadiah di ulang tahun anakku,” batinku. Selama perjalanan aku menyesali kemalasanku membuka tabungan di Bank. Sesampainya di rumah aku ceritakan semua pengalaman hari ini kepada istriku. “Ya sudahlah pak! Tidak apa-apa, aku sudah memberikan anak kita hadiah. Dan lagi, dia tidak menanyakan hadiah, kok!” jawab istriku mengomentari ceritaku. “Mulai besok, kita coba buka tabungan saja di Bank, pak. Bagaimana?” tanya istriku. “Entahlah, bu. Aku masih malas untuk pergi ke Bank. Aku malas jika harus mengantri dan melewati tahapan-tahapan prosedurnya,” jawabku. “Pak, jangan samakan antara Bank swasta dan Bank negeri. Mungkin saja pelayanannya sekarang sudah lebih baik. Lagian bapak dulu menabung ketika bapak masih kuliah,” jelas istriku. Memang benar, aku menabung sudah hampir sepuluh tahun yang lalu. Tapi tetap saja aku tidak rela jika uang tabunganku dipotong oleh biaya administrasi. “Bisa-bisa uangku habis oleh biaya administrasi,” pikirku. Keesokan harinya, aku kembali lagi menuju dinas pendidikan untuk mengambil gajiku bulan ini. Sengaja aku datang agak pagi, agar ibu Euis bagian bendahara masih ada di kantornya. Dan ternyata benar dugaanku, ibu Euis baru saja tiba di kantornya. “Pagi, ibu Euis,” sapaku. “Eh, pak Maman. Katanya kemarin kesini ya?” tanya ibu Euis. “Betul bu. Kemarin saya kesini, tapi ibu sudah terlanjur pulang!” jawabku. “Iya, maaf. Kemarin anak saya sakit, jadi saya pulang lebih awal,” jawab ibu Euis. “Hanya tinggal gaji bapak Maman yang belum diambil. Kalau yang lainnya sudah saya transfer lewat Bank. Memang bapak tidak punya nomor rekening, pak?” tanya ibu Euis. “Eh, anu baru mau buat bu,” jawabku sedikit berbohong. “Oh, begitu! Nanti kalau bapak sudah punya nomor rekening, hubungi saya ya pak! Biar nanti saya tranfer lewat Bank saja. Jadi bapak tidak usah repot-repot datang kemari lagi!” jelas ibu Euis sambil menyerahkan amplop berisi gajiku bulan ini. “Iya, bu. Nanti saya beritahukan nomor rekening saya. Terima kasih bu!” ujarku. Malunya diriku, belum mempunyai nomor rekening. Akhirnya kuputuskan hari ini aku akan menuju Bank Mandiri. Sengaja aku memilih Bank Mandiri, karena pelayanannya yang nyaman. Tiba di Bank tersebut, aku disambut oleh senyuman hangat petugas keamanan. “Siang, pak. Ada yang bisa saya bantu?” tanya petugas keamanan tersebut. “Eh, anu. Saya mau buat tabungan. Kemana ya?” tanyaku dengan sedikit gugup. “Oh, silakan bapak mengambil nomor antrian ini. Dan tunggu di tempat yang telah disediakan,” jelas petugas tersebut sambil memberikan secarik kertas bertuliskan nomor antrian. Situasi Bank Mandiri tersebut sangat berbeda dengan ketika aku membuka tabungan di Bank pemerintah dulu. Suasananya begitu nyaman sekali. Tidak ada, bau tidak sedap keringat para nasabah. Dan udara panas yang biasanya menyambutku dulu, berganti dengan dinginnya udara yang keluar dari pendingin ruangan. Tak lama kemudian, giliranku dipanggil. “Selamat siang, silakan duduk! Ada yang bisa saya bantu?” tanya petugas customer service sambil tersenyum kearahku. “Eh, anu. Saya mau buka tabungan baru bagaimana caranya?” tanyaku sambil duduk di kursi. “Oh, mudah sekali pak. Bapak cukup menyerahkan fotokopi KTP dan mengisi formulir pendaftaran, selanjutnya bapak diwajibkan menyetorkan setoran awal sebesar dua ratus lima puluh ribu rupiah,” jelas petugas customer service tersebut. “Oh, begitu. Tapi saya belum punya fotokopi KTP-nya, biar saya fotokopi dulu!” jawabku sambil hendak berdiri. “Oh, tidak usah pak. Biar kami yang akan memfotokopi KTP, Bapak. Bapak tinggal mengisi formulir saja,” jelas petugas tersebut sambil meminta KTP-ku dan menjelaskan cara mengisi formulir. Kemudian petugas tersebut berlalu sambil, membawa KTP aku. Tidak selang beberapa lama, petugas tersebut datang kembali dengan membawa KTP-ku dan menyerahkannnya kembali. Dia lalu menjelaskan berbagai fasilitas lainnya. Salah satunya adalah ATM. “Bapak, dengan ATM Mandiri ini. Bapak tinggal mengambil uang di gerai ATM Mandiri mana pun juga. Bahkan kartu ATM ini bisa digunakan sebagai alat belanja,” jelas petugas tersebut.”Tapi, saya takut jika terjadi seperti kasus di koran yang dicuri lewat ATM,” tanyaku lagi. “Bapak tenang saja, selama nomor PIN-nya tidak bapak beritahukan kepada siapun, maka tabungan bapak akan aman,” jelas petugas tersebut. Akhirnya aku menggunakan fasilitas ATM Mandiri setelah mendapatkan penjelasan dari petugas tersebut. Sampainya di rumah, aku lalu tunjukan kartu ATM Mandiri pertamaku. “Wah, bapak sudah punya nomor rekening sekarang!” ujar istriku sumringah. “Iya, dong bu! Aku malu jika harus mengambil gajiku ke kantor dinas. Jadi mulai bulan depan aku tinggal mengambil di ATM Mandiri,” jelasku. “Tapi, pak. Bukankah bapak malas untuk antri di Bank?” tanya istriku. “Iya, sih tadinya aku berpikiran seperti itu. Ternyata Bank sekarang sudah lain dengan dulu. Bank sekarang begitu nyaman. Tidak harus antri lama. Bahkan tidak ada lagi aroma bau badan, nasabah yang kepanasan,” jelasku dengan dengan bahagia. Hari-hari berlalu. Dengan fasilitas yang Bank berikan, sekarang aku hampir tidak pernah membawa uang tunai kemana pun aku pergi. Jika hendak berbelanja cukup menggunakan kartu saja. Bahkan dengan menggunakan fasilitas dari Bank lainnya, aku bisa mengisi pulsa tanpa harus pergi keluar rumah. Tidaj hanya itu kemudahan yang ditawarkan Bank Mandiri. Saat ini aku berbisnis pengisian pulsa handphone. Cukup tinggal transfer lewat Bank, maka aku bisa menjalankan usaha sampinganku ini. Dan sebagai persiapan masa depan anakku, aku juga mengikuti program asuransi pendidikan. Sehingga ketika anakku besar nanti, aku tidak perlu khawatir mengenai biaya pendidikannya. Karena dari sekarang aku sudah mulai mencicil biaya untuk kuliahnya nanti. Istriku juga ikut-ikutan membuka rekening di Bank Mandiri. Walupun hanya baru sebatas untuk mengirim uang ke orangtuanya di Ciamis. Sehingga kami yang biasanya harus pulang kampung tiap bulan, sekarang tinggal transfer lewat Bank semua beres. Hidupku semakin mudah dengan adanya fasilitas pelayanan dari Bank.

Langit Tak Mendengar

Bab 1 Jauh Mimpiku Pagi masih diselimuti oleh kabut. Sang surya belum menampakan batang hidungnya. Gundah di hatiku mendorongku untuk melupakan rasa dingin yang menusuk kulitku. Hari ini adalah pengumuman hasil tes penerimaan mahasiswa baru. Harap dan asaku kugantungkan hari ini. Menjadi seorang insinyur adalah cita-citaku yang tersimpan dalam dada, sedangkan menjadi seorang pahlawan tanpa tanda jasa adalah strategiku untuk meraih impian berkuliah di perguruan tinggi negeri. Sudah menjadi komitmen dalam keluargku, bahwa perguruan tinggi negeri adalah harga mati. Bila aku gagal maka aku harus siap menjadi petani Hati kecilku berkata, aku tidak mau menjadi seroang guru. Menjadi seorang Insinyur menjadi sebuah profesi yang bisa kutambatkan sebagai pegangan untuk berlabuh dalam kehidupan dunia ini. Hidup dalam kehampaan dan kesengsaraan adalah suatu isu yang sering aku dengar dari seorang pahlawan tanda jasa. Taman kota atau yang biasa dikenal masyarakat Ciamis dengan sebutan taman Raflesia, begitu lengang. Memang begitulah kotaku. Kota kecil disebelah selatan pulau Jawa ini memang kota dengan penduduk yang tidak teralu banyak. Jika di kota besar banyak mengeluhkan tentang sampah yang bertebaran di sepanajang jalan, kemacetan yang terjadi setiap jamnya, dan pedagang kaki lima yang dengan seenaknya mendirikan lapak-lapak kumalnya tanpa mengindahkan kebersihan, keindahan dan ketertiban. Disini aku tidak pernah menemui semua itu. Kotaku begitu manis sesuai dengan semboyannya manjing dan dinamis. Tidak pernah ada PKL yang berjualan diatas trotoar atau pinggiran jalan, sehingga aku dapat leluasanya berjalan diatas trotoar. Bahkan aku tidak usah khawatir adanya motor yang naik motor untuk jalan pintas, karena jalanan di kotaku begitu lengang tidak pernah macet. Jangan harap akan menemukan sampah berkeliaran di sudut kota, semua bersih dan teratur. Tak heran beberapa kali kotaku meraih Adipura dari presiden. Dengan mengendarai sepeda motor plat merah kepunyaan kakakku yang seorang aparat desa aku bergegas menuju taman Raflesia. Kulihat beberapa orang sibuk berolahraga. Aku menuju ke salah satu taman dimana biasanya para loper koran mengemas surat kabar untuk dikirim ke pelanggannya disana. Maklum aku tidak berlangganan surat kabar, oleh karena itu aku harus membeli surat kabar ke kota. Disana telah berkumpul beberapa loper koran yang sedang menumpuk surat kabar yang akan segera dikirim ke pembacanya. “Mang ada koran Pikiran Rakyat” tanyaku. Loper koran yan aku tanya dengan sigapnya menyibakkan koran-koran yang berserakan di bawah, mencari koran yang aku cari. “Aduh, maaf kang kayanya belum ada. Sepertinya distributornya terlambat mengirimnya” jawab loper koran tersebut. “Kira-kira masih lama ga datangnya, mang?” tanyaku kembali. Kemudian loper koran tersebut mengeluarkan handphone nya dan mengetikan sesuatu. Tak lama terdengar suara bunyi SMS di handphone loper koran tersebut. Kemudian dia tersenyum. “masih di Tasik kang, paling sekitar lima belas menit lagi sampai disini” jelas loper koran tersebut. Aku lalu melihat jam tangan yang melingkar di tanganku. Perih mulai terasa di perutku. Maklum aku belum sempat mengisi perutku dengan makanan. “ya udah mang, kalau nanti sudah datang, sisakan satu untukku yah, aku mau cari makanan dulu” jawabku. Loper koran tersebut mengangguk tanda setuju. Kemudian aku bergegas mencari makanan. Diseputaran alun-alun banyak penjual makanan bertebaran. Walaupun mereka bertebaran, mereka berdagang dengan tertib tanpa mengganggu orang-orang yang berlalu lalang berolahraga. Kulihat terdapat penjual surabi dengan asap hitamnyayang membumbung tinggi menggapai angkasa, dan kulihat beberapa orang sedang menikmati surabi tersebut dengan uap panas yang terus mengempul dari makanan yang terbuat dari santan kelapa berbalut oncom. Bahkan surabi sekarang tidak hanya berbalut oncom. Surabi sekarang sudah ada yang berbalut pisang, coklat, kornet dan bertaburan keju. Tentu saja menggoda siapa pun yang melihatnya. Tapi aku mengurungkan niatku untuk membeli surabi. Aku lebih memilih kupat tahu di langgananku yang sudah teruji rasa dan harganya. Mang Entang biasa aku panggil penjual kupat tahu ini. Dia berasala dari Singaparna sebuah daerah di kabupaten Tasikmalaya sebagai asalnya kupat tahu. Setiap hari Mang Entang berjualan kupat tahu di Taman raflesia. Melihat kedatanganku Mang Entang tersenyum simpul. Seolah sudah tahu dengan seleraku dia mulai meracik kupat tahu buatannya. Dia hapal seleraku yang tidak suka lontongnya terlalu banyak. Dia hanya memotong sedikit lontong dalam piringku. Beberapa menit kemudian sepiring kupat tahu sudah terhidang dihadapkanku. Tak menunggu lama aku lalu menyantap kupat tahu tersebut dengan diiringi bunyi krauk dari kerupuk. Kupat tahu asal singparna mempunyai ciri khas di bumbu kacangnya yang terasa pas dan nikmat apalgi jika di konsumsi pad pagi hari setelah berolahraga. Selesai makan aku bergegas kembali menuju ke oper koran. Ternyata benar dalam hitnungan menit saja korang yang memuat pengumuman UMPTN telah habis. “mang. Masih ada koran teh? Tanyaku pensaran. “Oh masih atuh kang, nih” jawab loper korang tersebut sambil tersenyum. Kemudian aku membayar seharga yang tertera dalam koran tersebut yaitu dua ribu lima ratus. “kang harganya lima ribu” ujar loper koran tersebut. Aku terkejut kemudian aku menjawab, “Disni harganya dua ribu lima ratus” jawabku. “Biasa kang setahu sekali” jawab loper koran tesebut dengan senyum licik. Kemudain aku merogoh kocek mengambil sisanya dan memberikannnya kepada loper koran tersebut dengan hati sedikit dongkol. Bisa-bisanya mareup untuk dalam kesempitan seperti itu.