Selasa, 08 Januari 2013

Langit Tak Mendengar

Bab 1 Jauh Mimpiku Pagi masih diselimuti oleh kabut. Sang surya belum menampakan batang hidungnya. Gundah di hatiku mendorongku untuk melupakan rasa dingin yang menusuk kulitku. Hari ini adalah pengumuman hasil tes penerimaan mahasiswa baru. Harap dan asaku kugantungkan hari ini. Menjadi seorang insinyur adalah cita-citaku yang tersimpan dalam dada, sedangkan menjadi seorang pahlawan tanpa tanda jasa adalah strategiku untuk meraih impian berkuliah di perguruan tinggi negeri. Sudah menjadi komitmen dalam keluargku, bahwa perguruan tinggi negeri adalah harga mati. Bila aku gagal maka aku harus siap menjadi petani Hati kecilku berkata, aku tidak mau menjadi seroang guru. Menjadi seorang Insinyur menjadi sebuah profesi yang bisa kutambatkan sebagai pegangan untuk berlabuh dalam kehidupan dunia ini. Hidup dalam kehampaan dan kesengsaraan adalah suatu isu yang sering aku dengar dari seorang pahlawan tanda jasa. Taman kota atau yang biasa dikenal masyarakat Ciamis dengan sebutan taman Raflesia, begitu lengang. Memang begitulah kotaku. Kota kecil disebelah selatan pulau Jawa ini memang kota dengan penduduk yang tidak teralu banyak. Jika di kota besar banyak mengeluhkan tentang sampah yang bertebaran di sepanajang jalan, kemacetan yang terjadi setiap jamnya, dan pedagang kaki lima yang dengan seenaknya mendirikan lapak-lapak kumalnya tanpa mengindahkan kebersihan, keindahan dan ketertiban. Disini aku tidak pernah menemui semua itu. Kotaku begitu manis sesuai dengan semboyannya manjing dan dinamis. Tidak pernah ada PKL yang berjualan diatas trotoar atau pinggiran jalan, sehingga aku dapat leluasanya berjalan diatas trotoar. Bahkan aku tidak usah khawatir adanya motor yang naik motor untuk jalan pintas, karena jalanan di kotaku begitu lengang tidak pernah macet. Jangan harap akan menemukan sampah berkeliaran di sudut kota, semua bersih dan teratur. Tak heran beberapa kali kotaku meraih Adipura dari presiden. Dengan mengendarai sepeda motor plat merah kepunyaan kakakku yang seorang aparat desa aku bergegas menuju taman Raflesia. Kulihat beberapa orang sibuk berolahraga. Aku menuju ke salah satu taman dimana biasanya para loper koran mengemas surat kabar untuk dikirim ke pelanggannya disana. Maklum aku tidak berlangganan surat kabar, oleh karena itu aku harus membeli surat kabar ke kota. Disana telah berkumpul beberapa loper koran yang sedang menumpuk surat kabar yang akan segera dikirim ke pembacanya. “Mang ada koran Pikiran Rakyat” tanyaku. Loper koran yan aku tanya dengan sigapnya menyibakkan koran-koran yang berserakan di bawah, mencari koran yang aku cari. “Aduh, maaf kang kayanya belum ada. Sepertinya distributornya terlambat mengirimnya” jawab loper koran tersebut. “Kira-kira masih lama ga datangnya, mang?” tanyaku kembali. Kemudian loper koran tersebut mengeluarkan handphone nya dan mengetikan sesuatu. Tak lama terdengar suara bunyi SMS di handphone loper koran tersebut. Kemudian dia tersenyum. “masih di Tasik kang, paling sekitar lima belas menit lagi sampai disini” jelas loper koran tersebut. Aku lalu melihat jam tangan yang melingkar di tanganku. Perih mulai terasa di perutku. Maklum aku belum sempat mengisi perutku dengan makanan. “ya udah mang, kalau nanti sudah datang, sisakan satu untukku yah, aku mau cari makanan dulu” jawabku. Loper koran tersebut mengangguk tanda setuju. Kemudian aku bergegas mencari makanan. Diseputaran alun-alun banyak penjual makanan bertebaran. Walaupun mereka bertebaran, mereka berdagang dengan tertib tanpa mengganggu orang-orang yang berlalu lalang berolahraga. Kulihat terdapat penjual surabi dengan asap hitamnyayang membumbung tinggi menggapai angkasa, dan kulihat beberapa orang sedang menikmati surabi tersebut dengan uap panas yang terus mengempul dari makanan yang terbuat dari santan kelapa berbalut oncom. Bahkan surabi sekarang tidak hanya berbalut oncom. Surabi sekarang sudah ada yang berbalut pisang, coklat, kornet dan bertaburan keju. Tentu saja menggoda siapa pun yang melihatnya. Tapi aku mengurungkan niatku untuk membeli surabi. Aku lebih memilih kupat tahu di langgananku yang sudah teruji rasa dan harganya. Mang Entang biasa aku panggil penjual kupat tahu ini. Dia berasala dari Singaparna sebuah daerah di kabupaten Tasikmalaya sebagai asalnya kupat tahu. Setiap hari Mang Entang berjualan kupat tahu di Taman raflesia. Melihat kedatanganku Mang Entang tersenyum simpul. Seolah sudah tahu dengan seleraku dia mulai meracik kupat tahu buatannya. Dia hapal seleraku yang tidak suka lontongnya terlalu banyak. Dia hanya memotong sedikit lontong dalam piringku. Beberapa menit kemudian sepiring kupat tahu sudah terhidang dihadapkanku. Tak menunggu lama aku lalu menyantap kupat tahu tersebut dengan diiringi bunyi krauk dari kerupuk. Kupat tahu asal singparna mempunyai ciri khas di bumbu kacangnya yang terasa pas dan nikmat apalgi jika di konsumsi pad pagi hari setelah berolahraga. Selesai makan aku bergegas kembali menuju ke oper koran. Ternyata benar dalam hitnungan menit saja korang yang memuat pengumuman UMPTN telah habis. “mang. Masih ada koran teh? Tanyaku pensaran. “Oh masih atuh kang, nih” jawab loper korang tersebut sambil tersenyum. Kemudian aku membayar seharga yang tertera dalam koran tersebut yaitu dua ribu lima ratus. “kang harganya lima ribu” ujar loper koran tersebut. Aku terkejut kemudian aku menjawab, “Disni harganya dua ribu lima ratus” jawabku. “Biasa kang setahu sekali” jawab loper koran tesebut dengan senyum licik. Kemudain aku merogoh kocek mengambil sisanya dan memberikannnya kepada loper koran tersebut dengan hati sedikit dongkol. Bisa-bisanya mareup untuk dalam kesempitan seperti itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar